Istanaku Adalah Gerobakku

Tulisan kali ini mengulas tentang sisi kehidupan "kaum marjinal" yang profesinya sebagai pemulung jalanan dan gerobak sebagai istana berjalan.

Banyak kaum marjinal di Jakarta yang tidak mempunyai tempat tinggal. Hal ini dikarenakan mereka tidak mampu untuk sewa rumah atau biasa disebut ngontrak. Walaupun sebagian mereka masih memiliki pendapatan atau penghasilan dari mulung, yaitu mengambil botol plastik, kardus, dll dari pinggir jalan atau tempat pembuangan sampah, yang nantinya akan dijual. Namun, hasil yang mereka dapatkan hanya mencukupi kebutuhan sehari-hari bersama keluarga. Terbatasnya penghasilan yang didapatkan, membuat mereka sebagian harus tinggal disebuah gerobak. Gerobak yang biasa mereka gunakan untuk wadah barang-barang hasil mulung menjadi "segala fungsi".




Menurut pengakuan sebagian pemulung jalanan, gerobak adalah merupakan harta yang paling berharga. Sebab, gerobak selain untuk tempat menampung barang bekas atau rongsokan, gerobak juga digunakan sebagai tempat tinggal. Tidak sedikit pemulung yang memiliki gerobak dijadikan untuk tempat peristirahatan bersama keluarganya. Bahkan, pakaian dan air minum miliknya ada dibagian dalam gerobak, dan mereka biasa menyimpannya disudut bagian gerobak tersebut. Terkadang ada satu keluarga, terdiri dari suami, isteri dan anak hanya memiliki satu gerobak saja. 

Apabila mereka sedang memulung dengan menggunakan gerobak, biasanya sang anak diletakan dibagian dalam gerobak. Terkadang sang isteri juga turut berada di dalam gerobak, bersama anak dan barang hasil pungutannya. Jadi disini, betapa berjuangnya sang suami untuk mendorong gerobak yang bebannya cukup terbilang berat. Sebagian orang menyebut mereka dengan istilah "manusia gerobak".


Jika mereka terasa lelah maka mereka akan beristirahat ditempat dan wilayah yang dianggap nyaman. Nyaman yang dimaksud bagi mereka adalah tempat dan wilayah yang jarang atau tidak pernah dilalui oleh petugas Satpol PP maupun Dinas Sosial. Karena, apabila mereka terlihat sedang tidur disembarang tempat, maka petugas akan membawanya ke panti sosial untuk mengikuti proses pembinaan selama beberapa waktu.

Bagi mereka, datangnya hujan, panas dan ban gerobak pecah adalah suatu hambatan yang mereka sering hadapi. Mereka bertahan di dalam segala keadaan yang serba terbatas dan kekurangan. Dan, melanjutkan langkah perjalanannya menuju hari yang belum pasti. Debu jalanan bagi mereka adalah hal yang sudah biasa ditemui.

Hidup mereka selalu melekat dengan gerobak miliknya. Dan disetiap detik, hati dan mata mereka selalu tertuju kepada posisi gerobak. Berharap gerobak itu lekas terisi  penuh dengan barang rongsokan yang memiliki nilai tukar.

Di pagi hari wajah para pemulung telah memandang jalan. Serta memulai untuk menentukan arah jalan yang hendak dilaluinya. Dan berharap hari ini semoga hujan tidak akan datang. Melainkan, ada setetes rezeki yang singgah di kehidupannya.



(Tulisan ini tidak bermaksud untuk merendahkan martabat sesama manusia yaitu para kaum marjinal yang dimana penulis jelaskan. Tetapi tulisan ini hanya untuk menceritakan sisi kehidupan orang-orang yang dianggap masih pra-sejahtera. Disamping itu, tulisan ini juga untuk membagikan energi positif. Mengenai menyisihkan waktu sejenak untuk menebar kebaikan kepada orang-orang yang hidupnya di bawah garis kesusahan).

Apabila ada saran atau kritik dari pembaca, silahkan tulis di kolom komentar. Tentunya penulis dengan senang hati menerima untuk mengalami perubahan kebaikan. Sehingga dapat diaplikasikan ke dalam kegiatan berikutnya untuk melayani para kaum marjinal di Jakarta Pusat.

Salam manis yang tidak pernah akan habis dari penulis. Peace For You.





Komentar

Postingan populer dari blog ini

TEMPAT BELAJAR GRATIS DI PINGGIR REL KERETA API AKTIF

Potret Kaum Marjinal Di Jakarta

Relasi Terhadap Kaum Marjinal