Kaum Marjinal (Part II).
Para kaum marjinal yang tinggal di pinggir rel kereta api didaerah Tanah Tinggi Satu (Jakarta Pusat) cukup terbilang banyak. Jumlah penduduk yang berada disisi rel tersebut sekitar lima puluh orang lebih. Dengan menggunakan tenda plastik sebagai "rumah" membuatnya menjadi sentral kehidupan mereka.
Ada sebagian dari mereka memiliki anak yang masih terbilang kecil. Bahkan, ada anak-anak disekitar pinggir rel kereta yang tidak sekolah. Sehingga dampaknya tidak bisa membaca dan menulis. Ironi sebagian para orang tua mengajak anak-anaknya untuk ikut memulung (pungut botol plastik, kardus, dll yang ada ditemukan dipinggir jalan atau tempat pembuangan sampah) yang terkadang sampai malam hari. Tentunya hal ini sangat memprihatinkan bagi masadepan generasi millenial yang berada di pemukiman tenda-tenda di pinggir rel kereta api aktif tersebut. Penulis pernah memberikan pemahaman kepada orang tua yang berada di pemukiman itu, tentang betapa pentingnya pendidikan bagi anak-anak. Bahkan, penulis pernah ingin membuat program belajar anak-anak secara gratis didaerah tersebut. Tetapi tidak terealisasikan karena mengingat kondisi lokasinya yang tidak efektif, sangat dekat dengan rel kereta api yang sering melintas. Tentunya sangat membahayakan bagi anak-anak tersebut. Jadi saya datang ke lokasi hanya memberi motivasi, pembinaan mental dan bantuan sosial. Dengan harapan mereka menjadi pribadi yang ingin berusaha untuk lebih baik lagi, penuh kreasi dan berinovasi.
Para anak hanya bermain dengan teman yang dianggap senasibnya saja. Penampilan keseharian mereka begitu seadanya. Pakaian yang dikenakan bisa sampai dua atau tiga hari melekat ditubuhnya (bisa lebih dari itu). Mengenai hal ini, penulis pernah datang bersama rekan untuk membagikan makanan yang mengandung protein dan vitamin C, serta pakaian yang masih layak pakai. Mereka begitu antusias dan merespon dengan cepat untuk menerima pembagian itu.
Jika sore hari telah tiba, para penghuni di pinggir rel kereta sibuk untuk mempersiapkan tendanya yang sebagai atap. Luas tenda berukuran sekitar dua meter dibentangkan mengerucut ke bawah, diikat kesebuah batu. Sedangkan malam hari semua tenda gelap karena tidak menggunakan lampu listrik. Penerangnya hanya mengandalkan dari cahaya lampu pinggir jalan umum saja. Di setiap penghuni tenda hampir semua memiliki senter. Ini digunakan untuk mereka keluar malam jika ada kepentingan mendadak. Seperti ke luar batas rel kereta api untuk membeli sesuatu di warung. Atau ingin buang air kecil dan besar. Tapi apabila malam hari toilet umum yang berada di luar batas rel kereta api tutup. Jadi mereka yang ingin buang air besar ataupun kecil sering disembarang tempat. Ini menurut pengakuan dari beberapa orang yang pernah cerita ke penulis. Bayangkan betapa susahnya mereka. Situasi dan kondisi yang mereka hadapi bukan saja kotor, gelap, kumuh, sengsara, melainkan juga berbahaya area lintas kereta.
(Tulisan ini tidak bermaksud untuk merendahkan derajat sesama manusia yang tinggal berada di pinggir rel kereta api yang dimana penulis jelaskan. Tetapi tulisan ini hanya untuk menceritakan sisi kehidupan orang-orang yang dianggap masih pra-sejahtera. Disamping itu, tulisan ini juga untuk membagikan energi positif. Mengenai menyisihkan waktu sejenak untuk menebar kebaikan kepada orang-orang yang hidupnya di bawah garis kesusahan).
Apabila ada saran atau kritik dari pembaca, silahkan tulis di kolom komentar. Tentunya penulis dengan senang hati menerima untuk mengalami perubahan kebaikan. Sehingga dapat diaplikasikan ke dalam kegiatan berikutnya untuk melayani para kaum marjinal di Jakarta Pusat.
Salam manis yang tidak pernah akan habis dari penulis. Peace For You.
Mantap hamba-Nya, lanjutkan misi kemanusiaan mu bagi semua orang, khusunya bagi kaum marjinal yang ada di pinggiran rel kereta api dan sekitarnya. Tuhan Yesus memberkatimu
BalasHapusTerimakasih saudaraku. Gbu too.
Hapus